Header Ads

Seolah Ada Dua Raja di Solo: Begini Sejarah Lengkap Terbentuknya Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran

IST - Keraton Kasunanan Surakarta (kiri), Pura Mangkunegaran (kanan).

KABARESOLO.COM - Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran adalah dua institusi kebudayaan dan politik yang penting dalam sejarah Jawa, khususnya di Surakarta. Keduanya memiliki asal usul yang unik dan mendalam, yang berakar pada pergolakan politik dan sosial di Jawa pada abad ke-18. Artikel ini akan menjelaskan sejarah berdirinya kedua institusi tersebut berdasarkan sumber-sumber yang valid dan terverifikasi.

Latar Belakang Sejarah Jawa Abad ke-18

Pada awal abad ke-18, Pulau Jawa berada dalam situasi politik yang kompleks dan penuh gejolak. Kesultanan Mataram yang menguasai sebagian besar Jawa Tengah dan Timur mengalami masa-masa sulit, dengan banyaknya pemberontakan dan perselisihan internal di antara para bangsawan. Selain itu, campur tangan pihak kolonial Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) semakin memperkeruh situasi.

Perjanjian Giyanti (1755)

Salah satu peristiwa penting yang mempengaruhi terbentuknya Keraton Kasunanan Surakarta adalah Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 antara pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Pangeran Mangkubumi dan pihak VOC. Perjanjian ini membagi Kesultanan Mataram menjadi dua bagian:

1. Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi).

2. Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwono III.

Pembagian ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan konflik yang terjadi di dalam Kesultanan Mataram, sekaligus memperkuat pengaruh VOC di Jawa.

Berdirinya Kasunanan Surakarta

Setelah Perjanjian Giyanti, Kasunanan Surakarta resmi berdiri dengan Sunan Pakubuwono III sebagai penguasanya. Sunan Pakubuwono III memindahkan ibu kota Kesultanan Mataram dari Kartasura ke Surakarta (Solo) pada tahun 1745, sebelum perjanjian tersebut, karena Kartasura dianggap tidak aman akibat pemberontakan yang terus-menerus terjadi. Pemindahan ibu kota ini juga menandai berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta.

Keraton Kasunanan Surakarta didirikan sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan baru, menggantikan Kartasura. Keraton ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, tetapi juga sebagai pusat kegiatan seni dan budaya Jawa.

Pura Mangkunegaran

Pura Mangkunegaran didirikan setelah adanya konflik internal lebih lanjut dalam keluarga kerajaan Surakarta. Salah satu tokoh penting dalam sejarah berdirinya Pura Mangkunegaran adalah Raden Mas Said, yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said merupakan cucu dari Sunan Pakubuwono I yang merasa tidak puas dengan pembagian wilayah dan kekuasaan setelah Perjanjian Giyanti.

Pada tahun 1757, sebuah perjanjian baru, yang dikenal sebagai **Perjanjian Salatiga**, ditandatangani antara Raden Mas Said dan pihak Kasunanan Surakarta serta VOC. Perjanjian ini mengakui Raden Mas Said sebagai penguasa wilayah Mangkunegaran dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I. Dengan demikian, berdirilah Pura Mangkunegaran sebagai pusat kekuasaan yang baru.

Struktur dan Peran Keraton Kasunanan Surakarta

Keraton Kasunanan Surakarta memainkan peran penting dalam menjaga dan melestarikan budaya Jawa. Keraton ini menjadi pusat seni tari, musik, dan sastra Jawa. Upacara-upacara adat dan tradisi kerajaan masih dipelihara hingga kini, menjadikan keraton ini sebagai simbol kebesaran dan kejayaan budaya Jawa masa lampau.

Selain itu, keraton ini juga memiliki struktur pemerintahan tradisional dengan Sunan sebagai pemimpin tertinggi. Sunan dibantu oleh para pejabat kerajaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengatur kehidupan sosial masyarakat di wilayah kekuasaannya.

Struktur dan Peran Pura Mangkunegaran

Pura Mangkunegaran, meskipun lebih kecil dibandingkan Keraton Kasunanan Surakarta, memiliki peran yang tidak kalah penting. Pura ini juga menjadi pusat kebudayaan dan seni Jawa. Banyak seniman dan budayawan yang lahir dan berkembang di lingkungan Pura Mangkunegaran.

Pura Mangkunegaran dipimpin oleh Mangkunegara yang memiliki kekuasaan otonom atas wilayahnya. Sama seperti di Kasunanan, struktur pemerintahan di Pura Mangkunegaran juga didasarkan pada tradisi dan adat istiadat Jawa yang kuat.

Pengaruh Kolonial Belanda

Selama periode kolonial, baik Kasunanan Surakarta maupun Pura Mangkunegaran berada di bawah pengaruh dan pengawasan pemerintah kolonial Belanda. Meskipun kedua keraton ini memiliki otonomi dalam mengatur urusan dalam negeri mereka, kebijakan-kebijakan penting sering kali harus mendapatkan persetujuan dari pihak Belanda. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan adaptasi dalam struktur pemerintahan serta kebudayaan di kedua keraton tersebut.

Periode Kemerdekaan dan Masa Kini

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, posisi politik Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran mengalami perubahan signifikan. Pada tahun 1946, Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dideklarasikan sebagai Daerah Istimewa di bawah pemerintahan Republik Indonesia, namun status tersebut untuk Kasunanan Surakarta tidak bertahan lama.

Saat ini, kedua keraton lebih difokuskan pada pelestarian budaya dan tradisi Jawa. Mereka berfungsi sebagai pusat kebudayaan yang menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri. Acara-acara adat dan upacara kerajaan masih rutin diselenggarakan, menunjukkan kesinambungan tradisi yang panjang.

Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran adalah dua institusi penting dalam sejarah dan kebudayaan Jawa. Keduanya berdiri sebagai hasil dari perjanjian politik dan konflik internal yang melibatkan Kesultanan Mataram dan VOC. Meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, kedua keraton ini memainkan peran yang signifikan dalam melestarikan seni, budaya, dan tradisi Jawa hingga masa kini.

Sumber:

1. Ricklefs, M.C. (2001). "A History of Modern Indonesia Since c.1200." Stanford University Press.

2. Carey, P.B.R. (1980). "The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855." KITLV Press.

3. Kartodirdjo, S. (1993). "Pemberontakan Petani Banten 1888." Penerbit LP3ES.

4. Nasruddin, A. (1987). "Surakarta: Perkembangan Sosial Politik dan Ekonomi 1900-1942." Gadjah Mada University Press.(*)

Tidak ada komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Diberdayakan oleh Blogger.